LAPORAN PRAKTIKUM PELAYANAN INFORMASI: OBAT HIPERTENSI
I. DEFINISI
Hipertensi
didefinisikan sebagai meningkatknya tekanan darah arteri yang persisten.
Penderita dengan tekanan darah diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan darah
sistolik lebih besar sama dengan 140 mmHg mengalami hipertensi sistolik
terisolasi. Krisis hipertensi (tekanan darah di atas 180/120 mmHg), dapat
dikategorikan sebagai hipertensi darurat (meningkatnya tekanan darah akut atau
disertau kerusakan organ) atau hipertensi gawat (beberapa tekanan darah
meningkat tidak akut) (Sukandar dkk, 2013).
Diagnosa
hipertensi didasarkan pada pengukuran berulang-ulang dari tekanan darah yang
meningkat. Diagnosa diperlukan untuk mengetahui akibat hipertensi bagi
penderita. Faktor resiko positif antara lain perokok, hiperlipidemia, diabetes,
dan adanya riwayat keluarga penderita penyakit kardiovaskuler. Hipertensi
dinyatakan berdasarkan pengukuran tekanan darah dan bukan gejala yang
dilaporkan oleh penderita (Katzung, 1998).
II.
LANDASAN TEORI
Tekanan
darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung (cardiac output)
dan resistensi vasuklar perifer (peripheral vascular resistance). Curah
jantung merupakan hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi kuncup
(stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik
vena (venous return) dan kekuatan miokard. Resistensi perifer ditentukan
oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan
viskositas darah. Parameter-parameter tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, di antaranya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron
(SRAA) dan faktor lokal berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel
endotel pembuluh darah.
Sistem
saraf simpatis bersifat presif, yaitu cenderung meningkatkan tekanan darah
dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitias
miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem saraf parasimpatis
bersifat depresif, yaitu menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi
denyut jantung. Obat-obat antihipertensi bekerja dengan berbagai mekanisme yang
berbeda, namun akan berakhir pada penurunan curah jantung, atau resistensi
perifer, atau keduanya (Tanu, 2012).
III.
ETIOLOGI
Hipertensi
memiliki penyebab khusus sebanyak 10-15% pada penderitanya, namun juga ada
penyebab yang bersifat individual dan beberapa penyebab tersebut dapat
diperbaiki dengan proses bedah. Beberapa contoh tindakan bedah di antaranya
adalah konstriksi arteri ginjal, koarktasi aorta, freokromositoma, penyakit
Cushing, dan aldosteronisme primer.
Penderita
hipertensi yang tidak diketahui sebabnya disebut dengan penderita hipertensi
esensial. Pada umumnya penderita hipertensi esensial disertai dengan
peningkatan umum resistensi darah untuk mengalir melalui arterioli, dengan
curah jantung yang normal. Ada suatu kelainan primer pada fungsi sistem saraf
otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan ginjal.
Peningkatan
tekanan darah pada umumnya disebabkan karena berbagai kelainan
(multifaktorial). Adanya faktor keturunan, ketegangan jiwa, dan faktor
lingkungan (banyak garam dan kurangnya asupan kalsium berkontribusi pada
berkembangnya hipertensi. Tekanan darah tidak meningkat pada orang-orang lanjut
usia dengan menu harian yang berkadar garam rendah (Katzung, 1998).
IV.
TANDA GEJALA SECARA UMUM
Hipertensi
seringkali tidak memberikan gejala (asimtomatik) sampai dengan terjadi atau
telah terjadi kerusakan end organ (Katzung, 1998). Manifestasi
hipertensi yang sederhana pada umumnya tidak disertai dengan gejala. Pada
penderita feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal, berkeringat,
takikardia, palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada aldosteronemia primer
yang mungkin terjadi adalah hipokalemia, keram otot, dan kelelahan. Tanda
lainnya adalah sindrom Cushing dan terjadi peningkatan berat badan, poliuria,
edema, ireguler menstruasi, jerawat, atau kelelahan otot (Sukandar dkk, 2013).
V.
ALGORITME TERAPI
a.
Terapi non farmakologis
Pola hidup sehat terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, dan secara umum dapat menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Pasien dengan hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular, dapat menerapkan pola hidup sehat sebagai tatalaksana tahap
awal dan harus dijalani setidaknya selama 4-6 bulan. Bila setelah jangka waktu
tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk
memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang
dianjurkan adalah:
1.
Penurunan berat badan
2.
Mengurangi asupan garam
3.
Olah raga
4.
Mengurangi konsumsi alkohol
5.
Berhenti merokok
b. Terapi
farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada
hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami
penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan
pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi
farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi
efek samping, yaitu:
1. Bila
memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
2. Berikan
obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
3. Berikan
obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia 55 – 80
tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
4. Jangan
mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan
angiotensin II receptor blockers (ARBs)
5. Berikan
edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
6. Lakukan
pemantauan efek samping obat secara teratur (Soenarta dkk, 2015).
VI. SOAP
S |
O |
A |
P |
M |
1. Pasien
mengeluh kaki bengkak, pusing, tensi tinggi. 2. Kaki
bengkak sebalah kanan, mengganggu ketika sedang berjalan. 3. Pusing
hanya di malam hari, dan biasanya langsung mengkonsumsi captopril 12,5 mg. 4. Hipertensi
ini sudah berjalan 1 tahun terakhir. |
· Pasien
tidak tahu kadar kalsium terakhir. |
· Furosemide: Beresiko
menyebabkan hipokalsium, sehingga pasien disarankan untuk mengontrol kadar
kalsium pada urin di laboratorium (Lacy, F.C., 2009). Beresiko
menyebabkan hipotensi, sehingga pasien disarankan untuk mengontrol tekanan
darahnya (Lacy, F.C., 2009). · Dosis furosemide
yang diberikan sudah sesuai (Lacy, F.C., 2009). |
Furosemide: · adalah obat
untuk mengatasi keluhan kaki bengkak pada pasien, sebagai akibat dari
tingginya kadar air di dalam pembuluh darah. Jika keluhan bengkak sudah tidak
dirasakan lagi, penggunaan furosemide bisa dihentikan (dengan persetujuan
dokter). · Dosis tetap
dilanjutkan furosemide 40mg (S 2dd1) (Lacy, F.C., 2009). |
· Pasien
disarankan untuk melakukan pengecekan kadar kalsium di lab (tidak boleh
kurang dari 6,25 mmol/L), dengan mengkonsultasikan hasilnya ke dokter pada
pengobatan/kontrol selanjutnya. ·
Monitoring tensi (normal 139/89 mmHg) (Soenarta
dkk., 2015). |
S |
O |
A |
P |
M |
1.
Pasien mengeluh kaki bengkak,
pusing, tensi tinggi. 2.
Kaki bengkak sebalah kanan,
mengganggu ketika sedang berjalan. 3.
Pusing hanya di malam hari, dan
biasanya langsung mengkonsumsi captopril 12,5 mg. 4.
Hipertensi ini sudah berjalan 1
tahun terakhir. |
·
Medical record menurut keterangan
pasien adalah tensi terakhir 160/120 mmHg, dan sehari-hari biasanya tensi
berkisar antara 140/90 mmHg. |
·
Captopril: Beresiko
menyebabkan batuk kering, namun pasien tidak mengalami keluhan batuk sehingga
captopril aman digunakan untuk pasien (Lacy, F.C., 2009). · Captopril memiliki
resiko kategori C. masih bisa digunakan bersamaan dengan furosemide namun
memerlukan monitoring (Lacy, F.C., 2009). · Dosis captopril
yang diberikan sudah sesuai (Lacy,
F.C., 2009). |
Captopril: · adalah obat
untuk mengatasi keluhan hipertensi, namun memiliki resiko menyebabkan batuk
kering karena aktivasi bradikinin. Jika terjadi reaksi berupa batuk kering,
maka pasien disarankan mengganti dengan obat golongan ARB misalnya ibesartan
(dengan persetujuan dokter). · Dosis tetap
dilanjutkan captopril 12,5 mg (S 3dd1) (Lacy, F.C., 2009). |
·
Monitoring tensi (normal 139/89 mmHg) (Soenarta
dkk., 2015). |
VII.
EDUKASI PADA PASIEN
Beberapa edukasi yang diberikan pada
pasien yaitu:
1. Pasien diberi edukasi mengenai pola hidup sehat pada penderita hipertensi, misalnya: penurunan berat badan, mengurangi asupan garam, olahraga, mengurangi konsumsi alkohol, dan berhenti merokok.
2. Pasien diberi edukasi mengenai cara meminum obat sesuai aturan pakai (jika signanya adalah S 3dd 1, maka jarak antar pemakaian obat adalah 8 jam, jika signanya adalah S 2dd 1, maka jarak antar pemakaian obat adalah 12 jam).
3. Edukasi
penggunaan obat:
a. Captopril
· Jika
pada penggunaan captopril terjadi keluhan batuk kering, maka pasien disarankan
untuk memberitahukan mengenai keluhan batuk tersebut kepada dokter agar
mendapat solusi (dokter kemungkinan akan mengganti sediaan captopril dengan
obat lain yang tidak menyebabkan batuk, misalnya irbesartan).
· Menjelaskan
kepada pasien bahwa captopril diminum sebelum makan atau 2 jam setelah makan
(dalam kondisi perut kosong), dengan jeda antar pemakaian adalah 8 jam (S 3 dd
1).
b. Furosemide
· Pasien
diberi edukasi bahwa furosemide sebaiknya diminum pada pagi hari, karena
meningkatkan frekuensi buang air kecil (setelah membawa hasil laboratorium dan
mengkonsultasikannya dengan dokter).
4. Kombinasi
captopril dan furosemid:
a. Dengan
kombinasi captopril dan furosemid, maka pasien diedukasi untuk senantiasa
memonitor tekanan darahnya, karena adanya resiko hipotensi.
b. Penggunaan
captopril dan furosemide tidak boleh bersamaan. Setelah makan, furosemide diminum
terlebih dahulu, baru kemudian 2 jam setelah makan captopril diminum.
5. Pasien
diberi edukasi mengenai cara penyimpanan obat, yaitu obat disimpan pada suhu
ruang dan tidak terpapar sinar matahari secara langsung (Lacy, F.C., 2009).
IDENTITAS PASIEN |
RIWAYAT OBAT |
RIWAYAT PENYAKIT |
RIWAYAT KELUARGA |
DIAGNOSIS |
Nama: Ny. Ani Usia: 52 tahun |
Sebelum: Captopril 12,5
mg Sekarang: Captopril 12,5
mg Furosemide 40 mg |
· Hipertensi
(sudah 1 tahun) · Keluhan: kaki
bengkak, pusing, dan tensi tinggi |
- |
Hipertensi derajat
1 (tensi 140/90) |
DAFTAR
PUSTAKA
Fatriyadi
dkk, 2016, Pemberian Terapi Ceftriakson terhadap Kadar Kalsium Urin, Jurnal
Majority, Vol.5 No.3, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Katzung,
B.G., 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Lacy,
F.C., 2009, Drug Information Handbook 17th Edition, Lexi
Comp., New York, Amerika.
Soenarta
dkk., 2015, Pedoman Tata Laksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskuler,
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
Sukandar
dkk, 2013, Iso Farmakoterapi Buku 1, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
Tanu,
2012, Farmakologi dan Terapi, Balai Pustaka Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar