LAPORAN PRAKTIKUM PELAYANAN INFORMASI OBAT: INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

 I.  DEFINISI 

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (World Health Organization, 2017).

Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis. (Depkes RI, 2007).

 

II.  LANDASAN TEORI

Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri. Sementara itu, ancaman ISPA akibat organisme baru yang dapat menimbulkan epidemi atau pandemi memerlukan tindakan pencegahan dan kesiapan khusus (World Health Organization, 2017).

Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara. Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari orang lain masih rendah (Depkes RI, 2007).

Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua golongan umur yaitu: 

1.    Golongan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:

a.      Pneumonia berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaa tenang, tidak menangis atau meronta).

b.     Pneumonia

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat adalah:

1) Untuk usia 2 bulan -12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih

c.      Bukan pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu:

1) Tidak bisa minum

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stidor

5) Gizi buruk

2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:

a.   Pneumonia berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

b.   Bukan pneumonia

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda Bahaya untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, yaitu:

1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum)

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam/dingin (Depkes RI dalam Rahayu 2011).

 

III.  ETIOLOGI

Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus dan lain-lain. Masa inkubasi adalah rentan hari dan waktu sejak bakteri atau virus masuk ke dalam tubuh sampai timbulnya gejalah klinis yang disertai dengan berbagai gejala. Infeksi akut ini berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA berlangsung lebih dari 14 hari (Afifah, 2013).

 

IV.  TANDA GEJALA SECARA UMUM

Gejala ISPA bervariasi mulai dari demam, nyeri tenggorokan, pilek, hidung mampet, batuk kering dan gatal, batuk berdahak, serta bahkan bisa menimbulkan komplikasi seperti pneumonia (radang paru) dengan gejala sesak napas. Umumnya, influenza dikaitkan dengan gejala yang lebih berat, serta lebih sering menimbulkan komplikasi pneumonia. Pada bayi, bisa pula timbul bronkhiolitis (radang di saluran pernapasan halus di paru-paru) dengan gejala sesak nafas. Selain itu, bisa pula terjadi laryngitis (peradangan pada daerah laring atau dekat pita suara) yang menimbulkan croup dengan gejala sesak saat menarik napas dan batuk menggonggong (barking cough) (Afifah, 2013).

 

V. ALGORITME TERAPI

a.    Terapi non farmakologi

Sebagai pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, Imunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan, mencegah kontak dengan penderita ISPA (Afifah, 2013).

b.   Terapi farmakologi

Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Contoh antibiotika yang bisa digunakan dalam penanganan ISPA antara lain penicilin, sefalosporin, makrolida, tetrasiklin, quinolon, dan sulfonamida. Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa pasien. Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan obat bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi. Contoh obat terapi suportif adalah analgesik-antipiretik, antihistamin, kostikosteroid, dekongestan, bronkodilator, dan mukolitik (Depkes RI, 2007).


VI.  SOAP 

S

O

A

P

M

1.   Pasien mengeluh kurang bisa bernafas dengan lega, nafas tersengal, jika mearik nafas akan susah dikeluarkan, dan ada sedikit suara mengi (wheezing).

2.   Bagian tubuh yang terasa sakit adalah dada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.   Tidak ada hasil laboratorium dan pasien juga belum pernah melakukan pengecekan apapun.

Ventolin inhaler

·    Kandungan zat aktif: Salbutamol BP 0,1 mg/dose.

·    Golongan B2 agonis-bronkodilator (Sumber: Carima, 2016).

·    Mekanisme kerja: sebagai bronkodilator, efek samping minimal pada terapi asma.

·    Dosis yang digunakan sudah tepat (hanya digunakan jika terjadi serangan sesak nafas), karena bronkodilator B2 agonis merupakan terapi kontrol maupun terapi serangan akut (GINA dalam Carima, 2016).

·    Tidak ada interaksi ambroksol dengan salbutamol (sumber: BPOM).

 

·    Dosis tetap dilanjutkan (dipakai jika terjadi serangan sesak nafas) (sumber: GINA dalam Carima, 2016).

·    Melakukan monitoring kadar oksigen (saturasi oksigen) (Sumber: Nofrianti, 2017).

·    Kadar normal saturasi oksigen adalah 95-100% (Sumber: Nofrianti, 2017).

·    Monitor angka hasil spirometri/fungsi paru (sebaiknya dilakukan setiap 1-2 tahun sekali) (Sumber: Dipiro dkk., 2008).

·    Kadar normal hasil spirometri menunjukkan FEV1 >80% dan FVC >80% (Sumber: Uyainah dkk., 2014).

·    Monitoring teknik penggunaan setiap 3-6 bulan sekali (Sumber: Dipiro dkk., 2008).

·    Monitoring frekuensi mengi (berkurang sesudah terapi).

 


S

O

A

P

M

1.   Pasien mengeluh kurang bisa bernafas dengan lega, nafas tersengal, jika mearik nafas akan susah dikeluarkan, dan ada sedikit suara mengi (wheezing).

2.   Bagian tubuh yang terasa sakit adalah dada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.  Tidak ada hasil laboratorium dan pasien juga belum pernah dilakukan pengecekan apapun.

Ambroxol sirup

·     Kandungan zat aktif: ambroxol 15mg/5mL.

·     Golongan mukolitik

·     Mekanisme kerja: melepaskan ikatan gugus sufidril dalam mukosa sehingga viskositas turun (dahak encer) (sumber: Linnisaa, 2014).

·     Dosis: 3x15 ml (Dosis terlalu besar, sumber:BPOM).

·     Tidak ada interaksi ambroksol dengan salbutamol (sumber: BPOM).

·     Dosis diturunkan menjadi 3x 2,5 mL, diminum setelah makan (sumber: BPOM).

·     Monitor dahak, semakin mudah dikeluarkan atau tidak.

·     Cara mengeluarkan dahak yang benar (Sumber: Widiastuti, 2019).

·     Monitoring frekuensi batuk (berkurang sesudah terapi).

 

         VII.    EDUKASI PADA PASIEN

1.     Pasien diedukasi mengenai waktu mengganti kanister ventolin inhaler:

·       Keluarkan kanister dari plastic holder.

·       Kanister dikocok secara ringan. Jika masih berbunyi berarti sediaan obat masih ada. Jika bunyi ringan dan kaleng juga terasa ringan, maka sebaiknya mempersiapkan kanister yang baru (pertanda obat di dalam kanister akan segera habis).

2.     Pasien diedukasi mengenai cara menggunakan ventolin inhaler:

·       Masukkan kanister ke plastic holder sampai pada kedalaman tertentu

·       Kocok ringan 3-4x (secara vertikal)

·       Buka mouth cap (tutup)

·       Posisikan jari senyaman pasien

·       Masukkan mouth piece ke dalam mulut

·       Katupkan bibir serapat mungkin

·       Secara bersamaan, tekan kanister dan hirup obat yang keluar

·       Keluarkan mouth piece dari mulut dan jauhkan dari area mulut

·       Tahan nafas sekitar 10 detik (atau semaksimal yang pasien bisa)

·       Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan

·       Tutup mouth cap kembali

3.     Pasien diedukasi mengenai cara membersihkan ventolin inhaler:

v Membersihkan debu

·       Debu yang menempel pada mouth piece sebaiknya dilap dengan kain lap dan air hangat

·       Sebisa mungkin tidak mencuci mouth piece dengan air karena beresiko menyumbat saluran yang terhubung dengan kanister

·       Mouth piece dibersihkan seminggu sekali

v Mencuci

·       Keluarkan kanister dari plastic holder

·       Kanister tidak boleh disiram air/dicelupkan ke dalam air

·   Bilas dengan air hanya pada bagian mouth piece dan mouth cap dengan air mengalir selama 30 detik

·     Keringkan semalaman dengan cara mengangin-anginkan (diletakkan di tempat kering dan terhindar dari debu semalaman)

·    Keesokan paginya, letakkan kembali kanister ke dalam mouth piece dan tutup dengan mouth cap

4.     Pasien diedukasi mengenai cara menggunakan dan menyimpan ventolin inhaler:

·      Ventolin digunakan hanya jika pasien merasa sesak nafas.

·    Ventolin disimpan pada suhu kamar (tidak boleh disimpan pada suhu yang ektrsim-terlalu dingin atau terlalu panas)

5.     Edukasi lain-lain:

·    Jari-jari pasien tidak boleh menggunakan kutek (cat kuku) dan tidak boleh ada luka ketika mekakukan pengukuran saturasi oksigen.

·       Tangan dipastikan bersih ketika mengaplikasikan obat ventolin inhaler.

6.     Pasien diedukasi mengenai cara menggunakan dan menyimpan ambroxol:

·       Ambroxol digunakan dengan aturan pakai sehari 3x 2,5 mL, diminum setelah makan.

·       Ambroxol disimpan pada suhu kamar, terlindung dari sinar matahari langsung

7.     Pasien diedukasi mengenai cara mengeluarkan dahak yang benar:

·       Pasien pada posisi duduk agak membungkuk, kemudian pasien diminta untuk minum air hangat dan sehari sebelumnya disarankan minum air sebanyak 2 liter

·       Kemudian pasien diminta untuk menghirup nafas 2 kali dan hirupan nafas ketiga ditahan selama 3 detik, setelah itu dibatukkan dengan kuat 2-3 kali secara berturut-turut, kemudian bernafas secara ringan (Sumber: Widiastuti, 2019)

8.     Pasien diedukasi untuk mencermati dan menjauhi sumber alergen di rumah, misalnya debu, karpet, boneka berbulu, dan hewan-hewan berbulu.

9.     Monitoring:

v Monitoring saturasi oksigen

·     Kadar normal saturasi oksigen adalah 95-100% (Sumber: Nofrianti, 2017).

v Monitoring spirometri

·  Monitor angka hasil spirometri/fungsi paru (sebaiknya dilakukan setiap 1-2 tahun sekali) (Sumber: Dipiro dkk., 2008).

·    Kadar normal hasil spirometri menunjukkan FEV1 >80% dan FVC >80% (Sumber: Uyainah dkk., 2014).

·     Monitoring teknik penggunaan setiap 3-6 bulan sekali (Sumber: Dipiro dkk., 2008).


 


IDENTITAS PASIEN

RIWAYAT OBAT

RIWAYAT PENYAKIT

RIWAYAT KELUARGA

DIAGNOSIS

Nama: Ashari

Usia: 5 tahun

 

 

Identitas orang tua pasien:

·     Nama: Ibu Dani

·     Status: Ibu kandung pasien

·     Alamat:

·     No HP:


 

-

·     Sakit yang diderita baru pertama kali.

·     Keluhan: kurang bisa bernafas dengan lega, nafas tersengal, jika mearik nafas akan susah dikeluarkan, dan ada sedikit suara mengi (wheezing).

·     Bagian tubuh yang terasa sakit adalah dada.

 

-

Asma akut (Sumber: Dipiro dkk., 2008).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PRAKTIKUM PELAYANAN INFORMASI: OBAT HIPERTENSI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI KLINIS: GANGGUAN PADA SISTEM SIRKULASI DARAH